Sugeng Rawuh

Gubuk Cerita

Kamis, 08 November 2012

tanpa judul

Derak-derak kaki berlarian, meninggalkan jejak-jejak yang kemudian terhapus oleh ombak. Aku berlari kencang, menghindari kejaranmu. Dan kau memburuku mengikutiku pada arah lariku. Jerit-jerit kecil dan tawa ramai dari mulutku dan mulutmu, bersamaan suara ombak.
“ampun, sudah, cukup, berhenti. Aku tak sanggup lagi” nafasku tak beraturan. Aku terduduk kelelahan, senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pun dirimu, sambil mengusap peluh di dahimu, kau mengekor duduk di sampingku. “Cuma segitu? Payah.” Nyinyirmu mengejekku. Aku masih mengatur nafas sampai normal.
Ombak masih dengan garangnya membentur bibir pantai. Kupejamkan mata, dan ikut merasakan belaian ombak, dengan angin yang tak pernah lepas beriringan. Kita terdiam untuk beberapa saat menikmati keajaiban alam yang diberikan tuhan.
Kuamati wajahmu, keningmu, matamu, hidungmu, bibirmu.
“hai, kenapa kita tak mencoba mendekati air laut?” selorohku
“jangan, berbahaya” sergahmu
“tidak apa-apa asal kita mati berdua…” aku tertawa, kau tertawa. Dan semakin mengecil suara kita. Lalu kembali terdiam.
Kurasakan tanganku yang hangat karena genggamanmu, aku terdiam, kau terdiam. Senja semakin merapuh, para nelayan bertolak arah dari lautan, sepasang burung berkibaran di atas lautan, terbang bebas dengan kicau-kicaunya, entah apa yang mereka bicarakan, terlintas dalam pikirku jika mereka adalah kita, tentu akan sangat menyenangkan bebas terbang dan hanya berdua. Atau seperti sekarang yang hanya terdiam dan merasakan kehangatan tangan masing-masing.
“ayo kita pulang” sambil kau lepaskan genggamanmu. Aku mengikutimu dari belakang.
Pulang selalu menjadi kata menakutkan. Sampai pada jalan ini, kita akan berada di jalan masing-masing. Aku akan berada di jalanku, dan kau berada di jalanmu. aku akan menunggu dengan gundah, menanti  pertemuan kita selanjutnya yang entah kapan akan terjadi, atau mungkin tidak akan pernah terjadi.
***
Tak ada cerita tentang kita. Kita adalah air yang mengalir, mengikuti arusnya. Tak ada ikrar, taka da janji, kita adalah burung yang bebas terbang, dan akan berteduh ketika membutuhkan kehangatan dari derasnya hujan. Begitulah kita. Kita akan bertemu jika kita ingin bertemu, dan begitu sebaliknya. Kita tak butuh sebab untuk bersama, dan kita tak butuh alasan untuk berpisah. Hanya saja pertanyaan sering timbul diam-diam dalam benakku, jika aku bukan siapa-siapa kenapa ada nyeri di dada dan menimbulkan sesak tak kunjung reda.
Tak ada kata pertemuan begitu juga tak akan ada kata perpisahan. Kita satu hanya saat bersama, dan selanjutnya adalah pribadi yang berbeda. Yang ingin kutanyakan apakah kau juga timbul pertanyaan seperti dalam benakku?
Ah tentu saja ini adalah pikiranku saja.
Sekian hari aku akan tersibukkan oleh pekerjaan kantor, dan itu adalah obat rasa rinduku yang menggunung padamu. Kedip-kedip kursor komputer membuatku sementara lupa akan dirimu, bayangmu yang melayang-layang dalam pikirku. Seringkali aku merasa bosan melihat layar hpku yang kuharapkan akan ada namamu yang muncul di sana tapi tak pernah ada. Aku tak punya keberanian untuk menanyakan kabarmu, biarpun seberapa gundahku tanpa secuil kabar darimu. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu kedatanganmu. Aku tahu sudah ada seseorang yang lebih bisa merawatmu dengan baik di sana. Tetapi terkadang aku ingin akulah yang ada di sana saat ini,bukan dia yang entah siapa aku pun tak tahu rupanya.
***
“sudah lamakah?” kurasakan hawa tubuhmu yang mendekat dan duduk tepat di sampingku. Masih di tempat yang sama, pantai dengan ombak riuhnya.
“belum” kita terdiam lama.
Wajahmu, seperti ada mendung di sana. Inginku menggenggam tanganmu yang hangat, yang membuatku sesak berhari-hari. Tapi aku tak punya keberanian lebih.  aku ikut terdiam.
Saat itu ombak pasang, riuhnya membentur karang-karang mengisi sunyi yang tercipta di antara kita. Aku tak pernah merasa setenang ini, berada di sampingmu walaupun hanya dengan senyap.
Setelah sekian lama terdiam, kau memelukku erat, dan kurasakan degup jantungku sendiri memukul-mukul dada. Sepertinya kau tak peduli, kau tetap memelukku erat seakan tak ingin kau lepaskan. Aku menahan nafas, menunggu apakah yang hendak kau utarakan. Andai waktu bisa berhenti aku ingin waktu berhenti saat ini, dan tetap begini.
“seminggu yang lalu, kabar bahagia itu datang. Aku akan menjadi seorang ayah”
Bisikmu parau, aku tak bisa mencerna dengan baik kata-kata yang keluar dari bibirmu. Aku tak bisa menerka benar apakah kebahagiaan terpancar di wajahmu. Aku hanya merasakan punggungku basah. Kau masih memelukku erat.
Aku masih terdiam, lama.
#aku masih merasakan terakhir kali aku merasa begitu bahagia ketika kurasakan hangatnya rengkuhanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar