Derak-derak kaki
berlarian, meninggalkan jejak-jejak yang kemudian terhapus oleh ombak. Aku
berlari kencang, menghindari kejaranmu. Dan kau memburuku mengikutiku pada arah
lariku. Jerit-jerit kecil dan tawa ramai dari mulutku dan mulutmu, bersamaan
suara ombak.
“ampun, sudah, cukup,
berhenti. Aku tak sanggup lagi” nafasku tak beraturan. Aku terduduk kelelahan,
senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pun dirimu, sambil mengusap peluh di
dahimu, kau mengekor duduk di sampingku. “Cuma segitu? Payah.” Nyinyirmu mengejekku.
Aku masih mengatur nafas sampai normal.
Ombak masih dengan
garangnya membentur bibir pantai. Kupejamkan mata, dan ikut merasakan belaian ombak, dengan angin yang tak
pernah lepas beriringan. Kita terdiam untuk
beberapa saat menikmati keajaiban alam yang diberikan tuhan.
Kuamati
wajahmu, keningmu, matamu, hidungmu, bibirmu.
“hai,
kenapa kita tak mencoba mendekati air laut?” selorohku
“jangan,
berbahaya” sergahmu
“tidak
apa-apa asal kita mati berdua…” aku tertawa, kau tertawa. Dan semakin mengecil
suara kita. Lalu kembali terdiam.
Kurasakan
tanganku yang hangat karena genggamanmu, aku terdiam, kau terdiam. Senja
semakin merapuh, para nelayan bertolak arah dari lautan, sepasang burung
berkibaran di atas lautan, terbang bebas dengan kicau-kicaunya, entah apa yang
mereka bicarakan, terlintas dalam pikirku jika mereka adalah kita, tentu akan
sangat menyenangkan bebas terbang dan hanya berdua. Atau seperti sekarang yang
hanya terdiam dan merasakan kehangatan tangan masing-masing.
“ayo
kita pulang” sambil kau lepaskan genggamanmu. Aku mengikutimu dari belakang.
Pulang
selalu menjadi kata menakutkan. Sampai pada jalan ini, kita akan berada di
jalan masing-masing. Aku akan berada di jalanku, dan kau berada di jalanmu. aku
akan menunggu dengan gundah, menanti pertemuan kita selanjutnya yang entah kapan
akan terjadi, atau mungkin tidak akan pernah terjadi.
***
Tak ada
cerita tentang kita. Kita adalah air yang mengalir, mengikuti arusnya. Tak ada
ikrar, taka da janji, kita adalah burung yang bebas terbang, dan akan berteduh
ketika membutuhkan kehangatan dari derasnya hujan. Begitulah kita. Kita akan
bertemu jika kita ingin bertemu, dan begitu sebaliknya. Kita tak butuh sebab
untuk bersama, dan kita tak butuh alasan untuk berpisah. Hanya saja pertanyaan
sering timbul diam-diam dalam benakku, jika aku bukan siapa-siapa kenapa ada
nyeri di dada dan menimbulkan sesak tak kunjung reda.
Tak ada
kata pertemuan begitu juga tak akan ada kata perpisahan. Kita satu hanya saat
bersama, dan selanjutnya adalah pribadi yang berbeda. Yang ingin kutanyakan
apakah kau juga timbul pertanyaan seperti dalam benakku?
Ah tentu
saja ini adalah pikiranku saja.
Sekian
hari aku akan tersibukkan oleh pekerjaan kantor, dan itu adalah obat rasa
rinduku yang menggunung padamu. Kedip-kedip kursor komputer membuatku sementara
lupa akan dirimu, bayangmu yang melayang-layang dalam pikirku. Seringkali aku
merasa bosan melihat layar hpku yang kuharapkan akan ada namamu yang muncul di
sana tapi tak pernah ada. Aku tak punya keberanian untuk menanyakan kabarmu,
biarpun seberapa gundahku tanpa secuil kabar darimu. Yang bisa kulakukan
hanyalah menunggu kedatanganmu. Aku tahu sudah ada seseorang yang lebih bisa
merawatmu dengan baik di sana. Tetapi terkadang aku ingin akulah yang ada di
sana saat ini,bukan dia yang entah siapa aku pun tak tahu rupanya.
***
“sudah
lamakah?” kurasakan hawa tubuhmu yang mendekat dan duduk tepat di sampingku. Masih
di tempat yang sama, pantai dengan ombak riuhnya.
“belum” kita
terdiam lama.
Wajahmu,
seperti ada mendung di sana. Inginku menggenggam tanganmu yang hangat, yang
membuatku sesak berhari-hari. Tapi aku tak punya keberanian lebih. aku ikut terdiam.
Saat itu
ombak pasang, riuhnya membentur karang-karang mengisi sunyi yang tercipta di
antara kita. Aku tak pernah merasa setenang ini, berada di sampingmu walaupun
hanya dengan senyap.
Setelah sekian
lama terdiam, kau memelukku erat, dan kurasakan degup jantungku sendiri
memukul-mukul dada. Sepertinya kau tak peduli, kau tetap memelukku erat seakan
tak ingin kau lepaskan. Aku menahan nafas, menunggu apakah yang hendak kau
utarakan. Andai waktu bisa berhenti aku ingin waktu berhenti saat ini, dan
tetap begini.
“seminggu
yang lalu, kabar bahagia itu datang. Aku akan menjadi seorang ayah”
Bisikmu parau,
aku tak bisa mencerna dengan baik kata-kata yang keluar dari bibirmu. Aku tak
bisa menerka benar apakah kebahagiaan terpancar di wajahmu. Aku hanya merasakan
punggungku basah. Kau masih memelukku erat.
Aku masih
terdiam, lama.
#aku
masih merasakan terakhir kali aku merasa begitu bahagia ketika kurasakan
hangatnya rengkuhanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar