ALIRAN-ALIRAN DALAM
FILSAFAT
PROBLEM EPISTEMOLOGIS
Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas:
Mata Kuliah : Filsafat
Ilmu
Dosen Pengampu : Drs. Ruba’i M.Pd.
Disusun Oleh:
Purnama Dewi (08.10.401)
Zumrotin (08.10.410)
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU AL QUR’AN (STIQ) ANNUR
YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Aliran-aliran dalam filsafat telah membahas dan menjelaskan tentang
hakikat akal dan pengalaman sbagai sumber pengetahuan. Namun dewasa ini masih
sering terjadi problem pembahasan tentang pengetahuan dan cara memperolehnya (epistemologi).
Menyikapi hal tersebut makalah ini hadir di tengah-tengah pembaca
untuk membahas tentang aliran-aliran dalam filsafat ilmu dan problem
epistemologisnya meliputi: akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan,
kritisisme atas rasionalisme dan empirisme, intuisi dan wahyu sebagai sumber
pengetahuan dan kriteria kebenaran epistemologis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akal Sebagai Sumber Pengetahuan
Di kalangan
kaum rasionalis, hanya akal yang menjadi sumber pengetahuan, sedangkan yang
lainnya hanya memperkuat atau membantu memberi bahan-bahan pemikiran bagi akal.
Intuisi yang datang kepada manusia lebih banyak tidak rasional, baik itu berupa
wahyu maupun ilham dan jenis-jenis lainnya. Intuisi sifatnya personal, karena
orang lain yang tidak mengalaminya, tidak dapat dikatakan sebagai pemegang
pengetahuan intuitif. Demikian pula dengan wahyu, sifatnya personal. Apabila
wahyu tersebut disampaikan kepada orang lain yang tidak mengalaminya, tentu
orang yang dmaksud tidak mengenalnya. Dengan demikian, diterima-tidaknya berita
dan penjelasan yang ditransferkan kepada orang lain oleh penerima wahyu,
bergantung pada rasionalitas si penerima. Oleh karena itu, tidak sedikit “pada
masa jahiliyah” ketika Muhammad saw menyampaikan al Qur’an, ada yang
berpandangan sebagai hal yang tidak masuk akal, bahkan dianggapnya sebagai
cerita biasa atau dongeng-dongeng di masa lalu. Keyakinan terhadap firman tuhan
tidak semudah yang dialami umat Islam kuktural, yang lahir dari keluarga muslim
pada masa nabi dan para sahabat, ajaran wahyu al Qur’an berhadapan dengan
masyaraat yang benar-benar buta pengetahuan tentang Islam.
Dalam konteks
filsafat ilmu pengagum rasio tetap bersikukuh bahwa rasiolah yang menjadi
satu-satunya sumber pengetahuan sehingga melahirkan madzhab atau aliran
rasionalisme. Rasionalisme merupakan paham filsafat yang mengatakan bahwa akal
adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan
(Ahmad Tafsir, 2005:127) menurut Ahmad tafsir, rasionalisme mengajarkan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir ialah
kaidah-kaidah logis (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bagaimana logika
bekerja untuk menemukan kesimpulan tentang kebenaran pengetahuan). Rene Descartes
(1596-1650) adalah tokoh utama rasionalisme yang menciptakan metode “keraguan”
terhadap segala sesuatu dalam filsafat. Ia meragukan semua objek yang dapat
dilihat oleh panca indra bahkan pada tubuhnya sendiri, karena apa yang
dilihatnya ketika sedang tersadar tidak berbeda dengan yang dilihatnya ketika
mimpi, berhalusinasi dan berilusi, sehingga yang sebenarnya “ada” yang mana?
Apa yang sedang tertidur atau terbangun, lalu mengapa objek yang dilihatnya
sama?
Akan tetapi
Descartes berusaha menemukan kebenaran yang benar-benar meyakinkan, sehingga
dengan memakai metode deduktif, semua pengetahuan dapat disimpulkan. Ia memahami
rasio sebagai sejenis peratara khusus untuk mengenal kebenaran. Kebenaran
pengetahuan ditelusuri dengan penalaran logis.
Selain
Descartes penganut rasionalisme adalah Spinoza ia berpandangan bahwa
argumen-argumen ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu
dibuktikan lagi.
Menurut paham
relativisme setiap akal pikiran manusia menghasilkan jawaban atas pertanyaan
yang berbeda-beda dan klaim kebenaran atas jawaban masing-masing terus
berlanjut. Selanjutnya, ada Zeno yang memapankan relativisme kebenaran. Lalu,
Protagoras yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Kebenaran itu
personalistik, sehingga tidak ada ukuran absolut dalam etika, metafisika,
maupun agama dan berbagai teorinya.
Socrates adalah
filosof yang ingin menyadarkan filosof lainnya tentang kebenaran. Jika semua
relatif pengetahuan yang mapan pun akan hancur, bahkan kan mengguncangkan
keyakinan agama. Ia berpendirian bahwa tidak semua kebenaran itu relatif. Dia
menggunakan metode dialektika tentang jawaban atas jawaban atau dialog.
Socrates yang menemukan deduksi dan definisi, lanjutnya dikembangkan oleh
muridnya yakni Plato.
Plato
berpendapat kebenaran umum bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif.
Pengertian umum telah ada di dalam alam ide, kemudian pemikiran Plato ini
dilanjutkan oleh muridnya yaitu Aristoteles, menurutnya matter dan form
itu bersatu. Matter memberikan substansi sesuatu, sedangkan form memberikan
pembungkusnya.[1]
Adapun
aliran-aliran yang muncul dengan perkembangan filsafat yunani kuno antara lain:
1.
Aliran natural phylosophy, tokohnya Democritus dan para
filosof Lonia, yang menghargai alam dan wujud benda setinggi-tingginya. Aliran
ini berpandangan bahwa alam ini bersifat abadi. Dalam filsafat Islam, aliran
ini dinamai degan aliran tabii.
2.
Aliran ketuhanan (theisme), yang mengakui zat-zat yang
metafisik, diwakili oleh aliran Elea dan Socrates, yang mengatakan bahwa sumber
alam indra adalah sesuatu yang berada secara eksternal.
3.
Aliran mistik, tokohnya Phythagoras, yang bermaksud memperkecil
atau mengingkari nilai-nilai alam indrawi, aliran ini menganjurkan kepada
manusia untuk meninggalkan alam indrawi dan menjangkau alam yang sempurna untuk
membebaskan diri dari keterbelengguan di alam indrawi.
4.
Aliran kemanusiaan (humanisme), yang menghargai manusia
setinggi mungkin, mengakui kesanggupan manusia untuk mencapai pengetahuan.
Manusia adalah alat dan ukuran satu-satunya kebenaran. Aliran inilah yang
diwakili oleh Socrates dan kaum Sopis, meskipun keduanya memiliki perbedaan
pandangan.
Adapun kaitannya dengan epistemologi adalah karena epistemologi
berkaitan erat dengan persoalan ide (akal) sebagai sumber pengetahuan. Adapun
epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pegetahuan dan cara
memperolehnya.[2]
Menurut Plato pengetahuan tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya
apabila panca indra kita berhadapan dengan sesuatu, teringatlah akan
contoh-contohnya sehingga muncul kembali pengetahuan yang telah diperoleh
sewaktu masih hidup dalam suatu alam, ketika dapat melihat ide yang azali
dengan jalan peng-abstrak-kan terhadap gambaran-gambaran dari wujud
indrawi.
B.
Pengalaman Sebagai Sumber pengetahuan
John Locke
(1632-1304), salah seorang penganut empirisme mengatakan bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan bersih ibarat kertas kosong yang belum bertuliskan
apapun (tabularasa). Pengetahuan baru muncul ketika indra manusia
menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam
kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman indrawi.
Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang
pertama dan sederhana (Juhaya S. Pradja, 1997:18).
Akal semacam
tempat penampungan secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini
berarti bahwa semua pengetahuan manusia betapapun rumitnya, dapat dilacak
kembali sampai pada pengalaman-pengalam indrawi yang telah tersimpan rapi di
dalam akal.
Menurut George
Barkeley (1685-1753). Berpandangan bahwa seluruh batasan dalam pikiran atau ide
datang dari pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu
saja dari pengalaman. Oleh karena itu ide tidak bersifat independen, penalaran
bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari pengalaman. Dengan demikian
fungsi akal tidak sekedar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali semata,
meliankan dalam konteks yang realistik.
Empirisme dan
rasionalisme berkembang pesat hingga melahirkan posotifisme. Menurut
positifisme, pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta, dengan demikian ilmu
pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Bagi
positifisme hanya pengalam indra yang benar-benar sebagai sumber pengetahuan
yang faktual, sedangkan yang lainnya tidak berarti apa-apa.
C.
Kritisisme Atas Rasionalisme dan Empirisme
Menurut
Immanuel Kant dalam membentuk argumen-argumen apa yang dipandu oelh tiga ide
transendental yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, yakni ide yang menyatukan
segala gejala lahiriyah, ide dunia dan ide tentang tuhan. Ketiga ide tersebut
memiliki fungsi masing-masing, yaitu ide “jiwa” menyatakan dan mendasari segala
gejala batiniyah, merupakan cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam
bidang gejala psikis. Ide “dunia” menyatakan segala gejala jasmaniyah,
sedangkan ide “tuhan” mendasari segala gejala, segala yang ada, baik yang
batiniyah maupun yang lahiriyah (Ahmad Tafsir 2005:150-151)
Demikian
Immanuel kant yang menjadi penggagas kritisisme. Filsafat ini memulai
perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber
pengetahuan manusia. Immanuel Kant mengutarakan teori pengetahuan, etika dan
estetika. Gagasan tersebut didasarkan pada tiga pertanyaan yaitu: (1) apa yang
saya dapat ketahui? (2) apa yang harus saya lakukan? (3) apa yang boleh saya
harapkan?. Tiga pertanyaan tersebut tercirikan pada tiga pandanagn Kant yaitu:
1.
Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan
bukan pada objek.
2.
Pengenalan manusia atau sesuatu, itu diperoleh atas dasar apriori.
3.
Menegaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas
perpaduan antara unsur apriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan
waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang
berupa materi (Juhaya S Pradja, 1997: 76-77).
Dengan
kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant hubungan antara rasio dan
pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hanya
apriorinya tetapi juga aposteriori bukan hanya pada rasio, melainkan juga pada
hasil indrawi. Immanuel Kant memastikan adanya pengetahuan yang benar-benar
“pasti”, artinya ia menolak aliran skpetisisme yang menyatakan tidak ada
pengetahuan yang pasti.
D.
Intuisi dan Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan
Akal berfungsi
melakukan penalaran terhadap berbagai kejadian dari pengalaman dan pengetahuan
indrawinya. Penalaran yang valid adalah wahyu yang ditransmisi oleh akal
sehingga akal yang sesuai dengan wahyu. Kesahihan transmisi data otoritatif
melahirkan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya
dan landasan filsafat Islam.
Namun, sehebat apapun
akal manusia tidak berarti bahwa akal dapat memperoleh seluruh pengetahuan yang
wajib baginya tentang Tuhan dan tentang alam gaib, akal akal manusia memiliki
keterbatasan. Akal manusia tidak dapat mengetahui keadaan dan hakikat hidupnya
di alam gaib nanti. Oleh karena itu, manusia berhajat kepada wahyu yang akan
membantunya memperoleh pengetahuan lebih luas tentang tuhan dan masa depannya
di alam gaib.
Apabila intuisi
berhajat pada akal untuk memahami dirinya, akal berhajat kepada produk intuisi,
baik sebagai pengetahuan informasi maupun pengetahuan konfirmatif karena
keduanya saling berhubungan. Islam merupakan agama yang rasional, agama yang
sejalan dengan akal, bahkan agam yang didasarkan atas akal. Muhammad Abduh
berpendapat bahwa iman seseorang belum sempurna jika tidak didasarkan pada
akal; keimanan harus berdasarkan keyakinan, bukan pada pendapat, dan akallah
yang menjadi sumber keyakinan kepada tuhan, ilmu serta kemahakuasaan-Nya dan
pada Rasul.
Kitab suci al
Qur’an adalah wahyu yang memberikan fungsi informatif dan konfirmatif bagi
akal, sedangkan as Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang mempermudah dalam
memahami al Qur’an dan sebagai tradisi pelaksanaan perintah-perintah Tuhan
melalui keteladanan Muhammad. Wahyu dalam hal sifat-sifat yang diwahyukan
berfungsi sebagai informasi bagi akal dalam hal fisikal maupun metafisikal,
sedang dalam hal sifat=sifat yang dapat diketahui oleh akal adalah konfirmasi.
Oleh karena itu, kebenaran aqliyah harus relevan dengan kebenaran naqliyah.
Hasil pemikiran akal dengan berbagai pendekatan yang harus dilegalisasi
oleh wahyu. (Harun Nasution, 1987:57).
Wahyu dalam
konteks di atas justru melebihi fungsi akal, kebenaran wahyu seluruhnya diakui
oleh akal, justru sebaliknya akal memiliki keterbatasan mengungkap
kenyataan-kenyataan yang digambarkan oleh wahyu. Dari situlah, pengakuan akal
tentang kebenaran absolut dari wahyu.
Selain wahyu
ada yang disebut intuisi. Sebenarnya intuisi bisa berupa wahyu, ilham, dan
mungkin ‘wangsit” kata orang jawa. Intuisi adalah pengetahuan yang diperoleh
tanpa penalaran, yang disebut sebagai pengalaman personal.
Wahyu, dalam
hal ini pembahasannya menitik beratkan pada al Qur’an karena diyakini sebagai
mukjizat yang tidak ada perubahan sedikitpun di dalamnya sebagai sumber
pengetahuan yang sangat penting, yang fungsinya bukan hanya informasi bagi akal
namu sekaligus sebagai konfirmasi, sehingga wahyu memberikan leglisasi bagi
setiap hasil pikiran manusia atau sebaliknya, wahyu memagari semua bentuk
pikiran manusia yang dapat berakibat buruk bagi kehidupan manusia.
Secara realitas
tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan mengandalkan potensi akal atau
dengan pengalaman, pemecahan masalah kemanusiaan juga dilakukan dengan
mengambil pelajaran dari wahyu atau kitab suci yang diyakini oleh pelbagai
pemeluk agama. Al Qur’an menyuguhkan berbagai ayat yang dapat dijadikan ide
dasar untuk pemecahan masalah, yang diajukan oleh para sahabat. Hal itu
menunjukkan bahwa pemecahan masalah kemanusiaan dapat dilakukan dengan
mendasarkan diri kepada wahyu, misalnya berkaitan dengan pertanyaan kaum
perempuan tentang kehadiran darah setiap bulannya, yang kemudian dijawab secara
langsung oleh al Qur’an yang kemudian disebut dengan haidh.
E.
Kriteria Kebenaran Epistemologis
Ilmu pengetahuan yang paling utama membicarakan berbagai macam
kriteria kebenaran, dalam hal ini terdiri atas jenis-jenis kebenaran sebagai
berikut:
1.
Kebenaran absolut, yaitu kebenaran mutlak. Ciri kebenaran mutlak
adalah kebenaran yang benar dengan sendirinya, tidak berubah-ubah dan tidak
membutuhkan pengakuan dari siapapun supaya menjadi benar.
2.
Kebenaran relatif, merupakan kebenaran yang berubah-ubah. Semua
hasil pengetahuan dinyatakan benar, apalagi kebenaran tersebut mempunyai alasan
yang logis.
3.
Kebenaran spekulatif yaitu kebenaran yang menjadi ciri khas
filsafat. Kebenaran ini bersifat “kebetulan” dengan landasan rasional dna
logis.
4.
Kebenaran korespondensi, kebenaran yang bertumpu pada realitas
objektif. Kriteria kebenaran jorespondensi dicirikan oleh adanya relevansi
pernyataan dan kenyataan, antara teori dan praktik.
5.
Kebenaran pragmatis, kebenaran yang diukur oelh adanya manfaat
suatu pengetahuan bagi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran bersedia menerima
pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa
akibat praktis yang bermanfaat.
6.
Kebenaran normatif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada sistem
sosial yang sudah baku.
7.
Kebenaran religius, kebenaran yang didasarkan pada ajaran dan
nilai-nilai agama. Kebenaran diperoleh bukan hany aoleh penafsira ajaran secara
rasio, melainkan didasarkan pada keimanan kepada ajaran yang dimaksudkan.
8.
Kebenaran filosofis, ialah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran
refleksi ahli filsafat yang disebut habitat (the nature), meskipun
subjektif, tampak mendalam karena melalui penghayatan eksistensial, bukan hanya
pengalaman dan pemikiran intelektual semata. (Sutardjo Wiramihardja, 2006: 33).
9.
Kebenaran estetis, adalah kebenaran yang didasarkan pada pandangan
tentang keindahan dan keburukan.
10.
Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya
syarat-syarat ilmiah, menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil
penelitian di lapangan.
11.
Kebenaran Theologis, adalah kebenaran yang didasarkan pada
firman-firman tuhan sebagai pesan-pesan moral yang filosofis.
12.
Kebenaran ideologis, adalah kebenaran karena tidka menyimpang dari
cita-cita kehidupan suatu bangsa.
13.
Kebenaran konstitusional, yaitu kebenaran atas dasar undang-undang,
sehingga tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dinyatakan
sebagai konstitusional, sedangakan yang menentang undang-undang disebut sebagau
inkonstitusional.
14.
Kebenaran logis, yaitu kebenaran karena lurusnya berpikir.
Kebenaran ini dicirikan oleh bentuk pemberian pengertian dan definisi. Jika
premis mayor dan premis minor saling menghubungkan, dan konsklusinya tepat
serta akurat, pernyataan yang demikian dikategorikan sebagai kebenaran logis.[3]
BAB III
KESIMPULAN
Pengetahuan
dapat diperoleh melalui beberapa hal yaitu:
1.
Pengetahuan diperoleh dari akal, yakni pengetahuan yang didapatkan
melalui proses berpikir yang logis sehingga dapat diterima oleh akal. Dari sini
memunculkan aliran rasionalisme.
2.
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman, yakni pengetahuan baru
muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan
mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan, jadi ketika manusia lahir benar-benar
dalam keadaan yang bersih dan suci dari apapun. Aliran yang mempunyai paham ini
adalah aliran empirisme.
3.
Pengetahuan diperoleh dari wahyu dan intuisi, yakni pengetahuan
yang bersifat personal, dan hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan pengetahuan
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi. Filsafat Ilmu. (Bandung: CV Pustaka Setia.
2009)
Putra, Suhartono Taat. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar