Sugeng Rawuh

Gubuk Cerita

Sabtu, 06 Oktober 2012

Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu


ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT
PROBLEM EPISTEMOLOGIS
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah             :           Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu                 :           Drs. Ruba’i M.Pd.


Description: E:\Data\Bank Data\Desain Logo\LOGO\STIQ.JPG


Disusun Oleh:
Purnama Dewi (08.10.401)
Zumrotin (08.10.410)

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU AL QUR’AN (STIQ) ANNUR
YOGYAKARTA
2011



BAB I
PENDAHULUAN
Aliran-aliran dalam filsafat telah membahas dan menjelaskan tentang hakikat akal dan pengalaman sbagai sumber pengetahuan. Namun dewasa ini masih sering terjadi problem pembahasan tentang pengetahuan dan cara memperolehnya (epistemologi).
Menyikapi hal tersebut makalah ini hadir di tengah-tengah pembaca untuk membahas tentang aliran-aliran dalam filsafat ilmu dan problem epistemologisnya meliputi: akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan, kritisisme atas rasionalisme dan empirisme, intuisi dan wahyu sebagai sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran epistemologis.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Akal Sebagai Sumber Pengetahuan
Di kalangan kaum rasionalis, hanya akal yang menjadi sumber pengetahuan, sedangkan yang lainnya hanya memperkuat atau membantu memberi bahan-bahan pemikiran bagi akal. Intuisi yang datang kepada manusia lebih banyak tidak rasional, baik itu berupa wahyu maupun ilham dan jenis-jenis lainnya. Intuisi sifatnya personal, karena orang lain yang tidak mengalaminya, tidak dapat dikatakan sebagai pemegang pengetahuan intuitif. Demikian pula dengan wahyu, sifatnya personal. Apabila wahyu tersebut disampaikan kepada orang lain yang tidak mengalaminya, tentu orang yang dmaksud tidak mengenalnya. Dengan demikian, diterima-tidaknya berita dan penjelasan yang ditransferkan kepada orang lain oleh penerima wahyu, bergantung pada rasionalitas si penerima. Oleh karena itu, tidak sedikit “pada masa jahiliyah” ketika Muhammad saw menyampaikan al Qur’an, ada yang berpandangan sebagai hal yang tidak masuk akal, bahkan dianggapnya sebagai cerita biasa atau dongeng-dongeng di masa lalu. Keyakinan terhadap firman tuhan tidak semudah yang dialami umat Islam kuktural, yang lahir dari keluarga muslim pada masa nabi dan para sahabat, ajaran wahyu al Qur’an berhadapan dengan masyaraat yang benar-benar buta pengetahuan tentang Islam.
Dalam konteks filsafat ilmu pengagum rasio tetap bersikukuh bahwa rasiolah yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan sehingga melahirkan madzhab atau aliran rasionalisme. Rasionalisme merupakan paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan (Ahmad Tafsir, 2005:127) menurut Ahmad tafsir, rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir ialah kaidah-kaidah logis (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bagaimana logika bekerja untuk menemukan kesimpulan tentang kebenaran pengetahuan). Rene Descartes (1596-1650) adalah tokoh utama rasionalisme yang menciptakan metode “keraguan” terhadap segala sesuatu dalam filsafat. Ia meragukan semua objek yang dapat dilihat oleh panca indra bahkan pada tubuhnya sendiri, karena apa yang dilihatnya ketika sedang tersadar tidak berbeda dengan yang dilihatnya ketika mimpi, berhalusinasi dan berilusi, sehingga yang sebenarnya “ada” yang mana? Apa yang sedang tertidur atau terbangun, lalu mengapa objek yang dilihatnya sama?
Akan tetapi Descartes berusaha menemukan kebenaran yang benar-benar meyakinkan, sehingga dengan memakai metode deduktif, semua pengetahuan dapat disimpulkan. Ia memahami rasio sebagai sejenis peratara khusus untuk mengenal kebenaran. Kebenaran pengetahuan ditelusuri dengan penalaran logis.
Selain Descartes penganut rasionalisme adalah Spinoza ia berpandangan bahwa argumen-argumen ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi.
Menurut paham relativisme setiap akal pikiran manusia menghasilkan jawaban atas pertanyaan yang berbeda-beda dan klaim kebenaran atas jawaban masing-masing terus berlanjut. Selanjutnya, ada Zeno yang memapankan relativisme kebenaran. Lalu, Protagoras yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Kebenaran itu personalistik, sehingga tidak ada ukuran absolut dalam etika, metafisika, maupun agama dan berbagai teorinya.
Socrates adalah filosof yang ingin menyadarkan filosof lainnya tentang kebenaran. Jika semua relatif pengetahuan yang mapan pun akan hancur, bahkan kan mengguncangkan keyakinan agama. Ia berpendirian bahwa tidak semua kebenaran itu relatif. Dia menggunakan metode dialektika tentang jawaban atas jawaban atau dialog. Socrates yang menemukan deduksi dan definisi, lanjutnya dikembangkan oleh muridnya yakni Plato.
Plato berpendapat kebenaran umum bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif. Pengertian umum telah ada di dalam alam ide, kemudian pemikiran Plato ini dilanjutkan oleh muridnya yaitu Aristoteles, menurutnya matter dan form itu bersatu. Matter memberikan substansi sesuatu, sedangkan form memberikan pembungkusnya.[1]
Adapun aliran-aliran yang muncul dengan perkembangan filsafat yunani kuno antara lain:
1.      Aliran natural phylosophy, tokohnya Democritus dan para filosof Lonia, yang menghargai alam dan wujud benda setinggi-tingginya. Aliran ini berpandangan bahwa alam ini bersifat abadi. Dalam filsafat Islam, aliran ini dinamai degan aliran tabii.
2.      Aliran ketuhanan (theisme), yang mengakui zat-zat yang metafisik, diwakili oleh aliran Elea dan Socrates, yang mengatakan bahwa sumber alam indra adalah sesuatu yang berada secara eksternal.
3.      Aliran mistik, tokohnya Phythagoras, yang bermaksud memperkecil atau mengingkari nilai-nilai alam indrawi, aliran ini menganjurkan kepada manusia untuk meninggalkan alam indrawi dan menjangkau alam yang sempurna untuk membebaskan diri dari keterbelengguan di alam indrawi.
4.      Aliran kemanusiaan (humanisme), yang menghargai manusia setinggi mungkin, mengakui kesanggupan manusia untuk mencapai pengetahuan. Manusia adalah alat dan ukuran satu-satunya kebenaran. Aliran inilah yang diwakili oleh Socrates dan kaum Sopis, meskipun keduanya memiliki perbedaan pandangan.
Adapun kaitannya dengan epistemologi adalah karena epistemologi berkaitan erat dengan persoalan ide (akal) sebagai sumber pengetahuan. Adapun epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pegetahuan dan cara memperolehnya.[2] Menurut Plato pengetahuan tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila panca indra kita berhadapan dengan sesuatu, teringatlah akan contoh-contohnya sehingga muncul kembali pengetahuan yang telah diperoleh sewaktu masih hidup dalam suatu alam, ketika dapat melihat ide yang azali dengan jalan peng-abstrak-kan terhadap gambaran-gambaran dari wujud indrawi.
B.     Pengalaman Sebagai Sumber pengetahuan
John Locke (1632-1304), salah seorang penganut empirisme mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan bersih ibarat kertas kosong yang belum bertuliskan apapun (tabularasa). Pengetahuan baru muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman indrawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana (Juhaya S. Pradja, 1997:18).
Akal semacam tempat penampungan secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti bahwa semua pengetahuan manusia betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalam indrawi yang telah tersimpan rapi di dalam akal.
Menurut George Barkeley (1685-1753). Berpandangan bahwa seluruh batasan dalam pikiran atau ide datang dari pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman. Oleh karena itu ide tidak bersifat independen, penalaran bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari pengalaman. Dengan demikian fungsi akal tidak sekedar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali semata, meliankan dalam konteks yang realistik.
Empirisme dan rasionalisme berkembang pesat hingga melahirkan posotifisme. Menurut positifisme, pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta, dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Bagi positifisme hanya pengalam indra yang benar-benar sebagai sumber pengetahuan yang faktual, sedangkan yang lainnya tidak berarti apa-apa.
C.     Kritisisme Atas Rasionalisme dan Empirisme
Menurut Immanuel Kant dalam membentuk argumen-argumen apa yang dipandu oelh tiga ide transendental yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, yakni ide yang menyatukan segala gejala lahiriyah, ide dunia dan ide tentang tuhan. Ketiga ide tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu ide “jiwa” menyatakan dan mendasari segala gejala batiniyah, merupakan cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala psikis. Ide “dunia” menyatakan segala gejala jasmaniyah, sedangkan ide “tuhan” mendasari segala gejala, segala yang ada, baik yang batiniyah maupun yang lahiriyah (Ahmad Tafsir 2005:150-151)
Demikian Immanuel kant yang menjadi penggagas kritisisme. Filsafat ini memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Immanuel Kant mengutarakan teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan tersebut didasarkan pada tiga pertanyaan yaitu: (1) apa yang saya dapat ketahui? (2) apa yang harus saya lakukan? (3) apa yang boleh saya harapkan?. Tiga pertanyaan tersebut tercirikan pada tiga pandanagn Kant yaitu:
1.      Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2.      Pengenalan manusia atau sesuatu, itu diperoleh atas dasar apriori.
3.      Menegaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara unsur apriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi (Juhaya S Pradja, 1997: 76-77).
Dengan kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant hubungan antara rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hanya apriorinya tetapi juga aposteriori bukan hanya pada rasio, melainkan juga pada hasil indrawi. Immanuel Kant memastikan adanya pengetahuan yang benar-benar “pasti”, artinya ia menolak aliran skpetisisme yang menyatakan tidak ada pengetahuan yang pasti.
D.    Intuisi dan Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan
Akal berfungsi melakukan penalaran terhadap berbagai kejadian dari pengalaman dan pengetahuan indrawinya. Penalaran yang valid adalah wahyu yang ditransmisi oleh akal sehingga akal yang sesuai dengan wahyu. Kesahihan transmisi data otoritatif melahirkan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya dan landasan filsafat Islam.
Namun, sehebat apapun akal manusia tidak berarti bahwa akal dapat memperoleh seluruh pengetahuan yang wajib baginya tentang Tuhan dan tentang alam gaib, akal akal manusia memiliki keterbatasan. Akal manusia tidak dapat mengetahui keadaan dan hakikat hidupnya di alam gaib nanti. Oleh karena itu, manusia berhajat kepada wahyu yang akan membantunya memperoleh pengetahuan lebih luas tentang tuhan dan masa depannya di alam gaib.
Apabila intuisi berhajat pada akal untuk memahami dirinya, akal berhajat kepada produk intuisi, baik sebagai pengetahuan informasi maupun pengetahuan konfirmatif karena keduanya saling berhubungan. Islam merupakan agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agam yang didasarkan atas akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa iman seseorang belum sempurna jika tidak didasarkan pada akal; keimanan harus berdasarkan keyakinan, bukan pada pendapat, dan akallah yang menjadi sumber keyakinan kepada tuhan, ilmu serta kemahakuasaan-Nya dan pada Rasul.

Kitab suci al Qur’an adalah wahyu yang memberikan fungsi informatif dan konfirmatif bagi akal, sedangkan as Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang mempermudah dalam memahami al Qur’an dan sebagai tradisi pelaksanaan perintah-perintah Tuhan melalui keteladanan Muhammad. Wahyu dalam hal sifat-sifat yang diwahyukan berfungsi sebagai informasi bagi akal dalam hal fisikal maupun metafisikal, sedang dalam hal sifat=sifat yang dapat diketahui oleh akal adalah konfirmasi. Oleh karena itu, kebenaran aqliyah harus relevan dengan kebenaran naqliyah. Hasil pemikiran akal dengan berbagai pendekatan yang harus dilegalisasi oleh wahyu. (Harun Nasution, 1987:57).
Wahyu dalam konteks di atas justru melebihi fungsi akal, kebenaran wahyu seluruhnya diakui oleh akal, justru sebaliknya akal memiliki keterbatasan mengungkap kenyataan-kenyataan yang digambarkan oleh wahyu. Dari situlah, pengakuan akal tentang kebenaran absolut dari wahyu.
Selain wahyu ada yang disebut intuisi. Sebenarnya intuisi bisa berupa wahyu, ilham, dan mungkin ‘wangsit” kata orang jawa. Intuisi adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa penalaran, yang disebut sebagai pengalaman personal.
Wahyu, dalam hal ini pembahasannya menitik beratkan pada al Qur’an karena diyakini sebagai mukjizat yang tidak ada perubahan sedikitpun di dalamnya sebagai sumber pengetahuan yang sangat penting, yang fungsinya bukan hanya informasi bagi akal namu sekaligus sebagai konfirmasi, sehingga wahyu memberikan leglisasi bagi setiap hasil pikiran manusia atau sebaliknya, wahyu memagari semua bentuk pikiran manusia yang dapat berakibat buruk bagi kehidupan manusia.
Secara realitas tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan mengandalkan potensi akal atau dengan pengalaman, pemecahan masalah kemanusiaan juga dilakukan dengan mengambil pelajaran dari wahyu atau kitab suci yang diyakini oleh pelbagai pemeluk agama. Al Qur’an menyuguhkan berbagai ayat yang dapat dijadikan ide dasar untuk pemecahan masalah, yang diajukan oleh para sahabat. Hal itu menunjukkan bahwa pemecahan masalah kemanusiaan dapat dilakukan dengan mendasarkan diri kepada wahyu, misalnya berkaitan dengan pertanyaan kaum perempuan tentang kehadiran darah setiap bulannya, yang kemudian dijawab secara langsung oleh al Qur’an yang kemudian disebut dengan haidh.

E.     Kriteria Kebenaran Epistemologis
Ilmu pengetahuan yang paling utama membicarakan berbagai macam kriteria kebenaran, dalam hal ini terdiri atas jenis-jenis kebenaran sebagai berikut:
1.      Kebenaran absolut, yaitu kebenaran mutlak. Ciri kebenaran mutlak adalah kebenaran yang benar dengan sendirinya, tidak berubah-ubah dan tidak membutuhkan pengakuan dari siapapun supaya menjadi benar.
2.      Kebenaran relatif, merupakan kebenaran yang berubah-ubah. Semua hasil pengetahuan dinyatakan benar, apalagi kebenaran tersebut mempunyai alasan yang logis.
3.      Kebenaran spekulatif yaitu kebenaran yang menjadi ciri khas filsafat. Kebenaran ini bersifat “kebetulan” dengan landasan rasional dna logis.
4.      Kebenaran korespondensi, kebenaran yang bertumpu pada realitas objektif. Kriteria kebenaran jorespondensi dicirikan oleh adanya relevansi pernyataan dan kenyataan, antara teori dan praktik.
5.      Kebenaran pragmatis, kebenaran yang diukur oelh adanya manfaat suatu pengetahuan bagi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.
6.      Kebenaran normatif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada sistem sosial yang sudah baku.
7.      Kebenaran religius, kebenaran yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai agama. Kebenaran diperoleh bukan hany aoleh penafsira ajaran secara rasio, melainkan didasarkan pada keimanan kepada ajaran yang dimaksudkan.
8.      Kebenaran filosofis, ialah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut habitat (the nature), meskipun subjektif, tampak mendalam karena melalui penghayatan eksistensial, bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata. (Sutardjo Wiramihardja, 2006: 33).
9.      Kebenaran estetis, adalah kebenaran yang didasarkan pada pandangan tentang keindahan dan keburukan.
10.  Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan.
11.  Kebenaran Theologis, adalah kebenaran yang didasarkan pada firman-firman tuhan sebagai pesan-pesan moral yang filosofis.
12.  Kebenaran ideologis, adalah kebenaran karena tidka menyimpang dari cita-cita kehidupan suatu bangsa.
13.  Kebenaran konstitusional, yaitu kebenaran atas dasar undang-undang, sehingga tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dinyatakan sebagai konstitusional, sedangakan yang menentang undang-undang disebut sebagau inkonstitusional.
14.  Kebenaran logis, yaitu kebenaran karena lurusnya berpikir. Kebenaran ini dicirikan oleh bentuk pemberian pengertian dan definisi. Jika premis mayor dan premis minor saling menghubungkan, dan konsklusinya tepat serta akurat, pernyataan yang demikian dikategorikan sebagai kebenaran logis.[3]


BAB III
KESIMPULAN

Pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa hal yaitu:
1.      Pengetahuan diperoleh dari akal, yakni pengetahuan yang didapatkan melalui proses berpikir yang logis sehingga dapat diterima oleh akal. Dari sini memunculkan aliran rasionalisme.
2.      Pengetahuan diperoleh dari pengalaman, yakni pengetahuan baru muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan, jadi ketika manusia lahir benar-benar dalam keadaan yang bersih dan suci dari apapun. Aliran yang mempunyai paham ini adalah aliran empirisme.
3.      Pengetahuan diperoleh dari wahyu dan intuisi, yakni pengetahuan yang bersifat personal, dan hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan pengetahuan ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi. Filsafat Ilmu. (Bandung: CV Pustaka Setia. 2009)
Putra, Suhartono Taat. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010)

                                   


[2] Suhartono Taat Putra. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010) hal: 74
[3] Boedi Abdullah. Filsafat Ilmu. (Bandung: CV Pustaka Setia. 2009) hal: 136-138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar