Sugeng Rawuh

Gubuk Cerita

Senin, 15 Oktober 2012

Yang...


yang…
Orang bilang kitalah arjuna sinta

yang…
Kau pergi demi bakti suci

yang…
Kupasrahkan rindu dan sayang pada semilir angin terbang

yang…
Andai kau singkap tabir masa depan
Bumi telah kugenggam dan aku masih berdiri garang


RELASI AGAMA DAN NEGARA


Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama
(Marzuki Wahid dan Abdul Moqsith Ghazali)
Review ini disusun guna memenuhi tugas Akhir Semester:
Mata Kuliah                           :           Aswaja
Dosen Pengampu                   :           M. Yazid Afandi





Disusun Oleh:
Zumrotin (08.10.410)

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU AL QUR’AN (STIQ) ANNUR
YOGYAKARTA
2012





RELASI AGAMA DAN NEGARA:
Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama
Oleh:

Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghazali


Adanya kecanggungan antara nega dan agama membuat penyelidikan dan pengkajian agama yang lebih seirus sangat dibutuhkan. Kecanggungan tersebut dikarenakan perbedaan pendapat dalam pemikiran apakah negara dan agama itu mempunyai hubungan dan saling terkait, atau bahkan agama Islam harusnya menjadi landasan ideologi dalam negara.
Penyilidikan tentang negara tersebut mengandung dua maksud, yang pertama: penelitian itu mencoba untuk menelusuri dan menentukan sejauhmana Islam menggariskan konsep secara clear-cut tentang negara, politik, dan sistem pemerintahan.
Kedua, penelusuran dilakukan untuk mengidentifikasi sebuah idealitas dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara. Tujuan yang kedua ini agaknya lebih beraksentuasi pada ranah praksis-substansial, yakni mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana isi negara menurut Islam.”
Paradigma Relasi Islam-Negara
Terdapat tiga paradigma pemikiran politik Islam dalam melihat relasi agama dan negara.  Pertama, paradigma integralistik yang mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam adalah din wa dawlah. Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara. Paradigma pertama ini mempunyai landasan teologis bahwa keyakinan akan watak holistik Islam. Ini sebagai pernyataan bahwa Islam adalah agama yang lengkap dalam semua aspek kehidupan. Penganut dari paradigma ini adalah:
1.       Islam tradisional, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran Islam klasik, semidal Rasyid Ridha (1865-1935)
2.       Islam fundamentalis, yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali pada ajaran Islam dan tradisi nabi secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia, seperti Sayyid qutb.
 Kedua, paradigma yang mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral. Penganut pemikiran ini adalah semisal Muhammad Abduh (1849-1905)
Ketiga, paradigma sekularistik yang menolak kedua paradigma sebelumnya; integralistik dan substantif. Sebagai gantinya, diajukanlah konsep pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata. Para pemikir politik yang masuk dalam kategori paradigma ketiga adalah Ali Abdurraziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973.
Negara Pancasila: Pandangan Abdurrahman Wahid
Pemikiran Gus Dur akan demokrasi dan pluralisme merupakan hal yang tidak perlu diragukan lagi dari Gus Dur, bahkan menurut Arif Budiman merupakan sebuah sikap fanatik Gus Dur kepada demokrasi.
Menurut Gus Dur, proses demokratisasi itu dapat menjadi tumpuan harapan dari mereka yang menolak pengagamaan mereka, sekaligus juga memberikan tempat untuk agama; bahwa kalau suatu masyarakat demokratis, Islam akan terjamin. Persoalannya adalah apakah umat Islam sudah siap untuk berdemokrasi, karena demokrasi menuntut adanya kesanggupan untuk melihat masyarakat secara keseluruhan. apakah golongan Islam sudah mempunyai kemampuan untuk take and give yang serius. Demokrasi itu, menurut Abdurrahman Wahid, isinya adalah memberi dan menerima. Tidak ada orang yang bisa memaksa orang lain untuk, misalnya, menanggalkan agamanya.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya dan untuk melegitimasi partisipasinya dalam wacana politik Indonesia, Abdurahman Wahid lebih sering menggunakan ideologi nasional Pancasila ketimbang Islam. Douglas E. Ramage mencatat bahwa penafsiran Abdurrahman Wahid dan rujukannya yang sering pada Pancasila erat kaitannya dengan peranannya sebagai eksponen terkemuka Islam neo-modernis, yang memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan nilai-nilai inti demokrasi.
Dengan penuh keyakinan Gus Dur berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi pancasila, termasuk negara damai (dar as shulh) yang harus dipertahankan. Menrutnya hal ini adalah cara yang paling realistis secara politik jika dilihat dari pluralitas agama di Indonesia.
Menurutnya Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan. Islam dan negara adalah dua hal yang terpisah. Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk baku yang ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat al-Qur`an maupun al-Hadits, membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan dan tercegah lagi. Dengan demikian, maka kesepakatan akan bentuk negara tidak bisa lagi dilandaskan pada dalil naqli, melainkan pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu.
Di mata Abdurrahman Wahid, Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia. Islam merupakan faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa. Walhasil, visi Abdurrahman Wahid tentang Indonesia masa depan adalah sebuah Indonesia yang demokratis, misalnya adanya kedudukan yang sama bagi semua warga negara dari berbagai latar belakang agama dan etnis manapun; mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Dilema Negara Pancasila: Sikap Nahdlatul Ulama
Pada keputusan muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984 memtuskan Islam vis a vis  Pancasila sudah dianggap selesai. Dalam muktamar tersebut telah diputuskan untuk menerima pancasila sebagai satu-satunya asas dan memulihkan kembalinya Nu menjadi oraganisasi keagamaan sesuai dengan khittah (semangat) 1926. Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masa’il) ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai berikut :
1.   Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2.   Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3.   Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4.   Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari.at agamanya.
5.   Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua fihak.
deklarasi ini menjelaskan posisi agama dan negara yang terpisah, tetapi secara relasional mempunyai simbiosa yang mutualistik dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kemashlahatan, kerahmatan, dan pembebasan bagi umat manusia.
Landasan fiqh yang digunakan oleh Nu untuk mendukung pendapat dan pemikirannya adalah sesuai yang dipaparkan oleh Kyai Ahmad Shiddiq:
1.      Mendirikan negara dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan duniawy wajib hukumnya.
2.      Kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sah dan mengikat semua pihak termasuk Islam.
3.      Hasil dari keputusan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya.
Dua bulan setelah Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa “Resolusi Jihad” yang mewajibkan setiap orang (fardlu ‘ain) dalam radius 94 km untuk melakukan jihâd fiy sabîlillâh melawan Belanda. Belanda saat itu tiba kembali di Tanah Air untuk menjajah. Fatwa ini kemudian dikukuhkan sebagai Keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret
Keputusan keagamaan ini merupakan dukungan politik keagamaan NU yang sangat berani dan mampu mempengaruhi semangat rakyat untuk mempertahankan bentuk baru negara Indonesia yang diproklamasikan, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Sikap Kebangsaan Nahdlatul Ulama
Konsekuensi dari penerimaan terhadap negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dalam kebutuhan praktis dan strategis menumbuhkan sikap kebangsaan Nahdlatul Ulama dari paham keagamaan yang selama ini digeluti, yakni sikap yang tercermin dari nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Implementasi sikap dasar kebangsaan ini dalam bidang politik-kekuasaan ditegaskan oleh Keputusan Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta bahwa NU sebagai suatu organisasi sosial-keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) tidak mempunyai ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga. NU tidak akan menggabungkan diri secara organisatoris ke dalam organisasi sosial politik yang manapun, tetapi juga tidak akan bersikap menentang organisasi sosial politik yang manapun juga, dan tidak akan menjadi partai politik sendiri.
Lebih lanjutnya NU menetapkan prinsip-prinsip dasar etika politik bagi warganya sebagai berikut:
1.   Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2.   Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akherat.
3.   Politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. 4.         Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indoensia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan.
5.   Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6.   Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsesus nasional, dan dilakukan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaa.ah.
7.   Berpolitik bagi NU, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8.   Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu., dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
9.   Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi, serta berpartisipasi dalam pembangunan.