Perspektif Pemikiran
Nahdlatul Ulama
(Marzuki Wahid dan Abdul
Moqsith Ghazali)
Review ini disusun guna
memenuhi tugas Akhir Semester:
Mata Kuliah : Aswaja
Dosen Pengampu : M. Yazid Afandi
Disusun Oleh:
Zumrotin (08.10.410)
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU AL QUR’AN (STIQ) ANNUR
YOGYAKARTA
2012
RELASI AGAMA DAN NEGARA:
Perspektif Pemikiran
Nahdlatul Ulama
Oleh:
Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghazali
Adanya kecanggungan antara
nega dan agama membuat penyelidikan dan pengkajian agama yang lebih seirus
sangat dibutuhkan. Kecanggungan tersebut dikarenakan perbedaan pendapat dalam
pemikiran apakah negara dan agama itu mempunyai hubungan dan saling terkait,
atau bahkan agama Islam harusnya menjadi landasan ideologi dalam negara.
Penyilidikan tentang
negara tersebut mengandung dua maksud, yang pertama: penelitian itu mencoba
untuk menelusuri dan menentukan sejauhmana Islam menggariskan konsep secara clear-cut
tentang negara, politik, dan sistem pemerintahan.
Kedua, penelusuran dilakukan
untuk mengidentifikasi sebuah idealitas dari perspektif Islam terhadap proses
penyelenggaraan negara. Tujuan yang kedua ini agaknya lebih beraksentuasi pada
ranah praksis-substansial, yakni mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana isi
negara menurut Islam.”
Paradigma Relasi
Islam-Negara
Terdapat tiga paradigma
pemikiran politik Islam dalam melihat relasi agama dan negara. Pertama, paradigma integralistik
yang mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara
tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam adalah din wa dawlah. Apa yang merupakan wilayah agama
juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara. Paradigma pertama ini
mempunyai landasan teologis bahwa keyakinan akan watak holistik Islam. Ini
sebagai pernyataan bahwa Islam adalah agama yang lengkap dalam semua aspek
kehidupan. Penganut dari paradigma ini adalah:
1.
Islam tradisional, yakni
mereka yang tetap mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran Islam klasik,
semidal Rasyid Ridha (1865-1935)
2.
Islam fundamentalis, yakni
mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali pada ajaran
Islam dan tradisi nabi secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia,
seperti Sayyid qutb.
Kedua, paradigma yang
mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara mutualistik,
yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Melalui negara,
agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui
kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan kehadiran
agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran
etik-moral. Penganut pemikiran ini adalah semisal Muhammad Abduh
(1849-1905)
Ketiga, paradigma sekularistik yang
menolak kedua paradigma sebelumnya; integralistik dan substantif. Sebagai
gantinya, diajukanlah konsep pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks
Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau
menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah
dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata.
Para pemikir politik yang masuk dalam kategori paradigma ketiga adalah Ali
Abdurraziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973.
Negara Pancasila:
Pandangan Abdurrahman Wahid
Pemikiran Gus Dur akan
demokrasi dan pluralisme merupakan hal yang tidak perlu diragukan lagi dari Gus
Dur, bahkan menurut Arif Budiman merupakan sebuah sikap fanatik Gus Dur kepada
demokrasi.
Menurut Gus Dur, proses demokratisasi itu
dapat menjadi tumpuan harapan dari mereka yang menolak pengagamaan mereka,
sekaligus juga memberikan tempat untuk agama; bahwa kalau suatu masyarakat
demokratis, Islam akan terjamin. Persoalannya adalah apakah umat Islam sudah siap untuk
berdemokrasi, karena demokrasi menuntut adanya kesanggupan untuk melihat
masyarakat secara keseluruhan. apakah golongan Islam sudah mempunyai kemampuan untuk take
and give yang serius. Demokrasi itu, menurut Abdurrahman Wahid, isinya
adalah memberi dan menerima. Tidak ada orang yang bisa memaksa orang lain
untuk, misalnya, menanggalkan agamanya.
Untuk mendukung
tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya dan untuk melegitimasi partisipasinya
dalam wacana politik Indonesia, Abdurahman Wahid lebih sering menggunakan
ideologi nasional Pancasila ketimbang Islam. Douglas E. Ramage mencatat bahwa
penafsiran Abdurrahman Wahid dan rujukannya yang sering pada Pancasila erat
kaitannya dengan peranannya sebagai eksponen terkemuka Islam neo-modernis, yang
memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan nilai-nilai inti demokrasi.
Dengan penuh keyakinan Gus
Dur berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi pancasila, termasuk negara
damai (dar as shulh) yang harus dipertahankan. Menrutnya hal ini adalah
cara yang paling realistis secara politik jika dilihat dari pluralitas agama di
Indonesia.
Menurutnya Islam tidak
mempunyai konsep kenegaraan. Islam dan negara adalah dua hal yang terpisah. Tidak adanya bentuk baku
sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk baku yang
ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat al-Qur`an maupun al-Hadits, membuat
perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan dan
tercegah lagi. Dengan demikian, maka kesepakatan akan bentuk negara tidak bisa
lagi dilandaskan pada dalil naqli, melainkan pada kebutuhan masyarakat
pada suatu waktu.
Di mata Abdurrahman Wahid,
Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral,
bukan sebagai sistem sosial dan politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan
kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba
ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa
dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia.
Islam merupakan faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari
faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa. Walhasil, visi Abdurrahman Wahid
tentang Indonesia masa depan adalah sebuah Indonesia yang demokratis, misalnya
adanya kedudukan yang sama bagi semua warga negara dari berbagai latar belakang
agama dan etnis manapun; mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Dilema Negara Pancasila:
Sikap Nahdlatul Ulama
Pada keputusan muktamar NU
di Situbondo pada tahun 1984 memtuskan Islam vis a vis Pancasila sudah dianggap selesai. Dalam
muktamar tersebut telah diputuskan untuk menerima pancasila sebagai
satu-satunya asas dan memulihkan kembalinya Nu menjadi oraganisasi keagamaan
sesuai dengan khittah (semangat) 1926. Keputusan paradigmatik
penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan
“Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan
simpul dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masa’il) ulama
NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan
posisi Islam dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai
berikut :
1. Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak
dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan
tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul
Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan
Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penerimaan dan
pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk
menjalankan syari.at agamanya.
5. Sebagai
konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekwen oleh semua fihak.
deklarasi ini menjelaskan
posisi agama dan negara yang terpisah, tetapi secara relasional mempunyai
simbiosa yang mutualistik dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan,
kemashlahatan, kerahmatan, dan pembebasan bagi umat manusia.
Landasan fiqh yang
digunakan oleh Nu untuk mendukung pendapat dan pemikirannya adalah sesuai yang
dipaparkan oleh Kyai Ahmad Shiddiq:
1.
Mendirikan negara dan
membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur
kesejahteraan duniawy wajib hukumnya.
2.
Kesepakatan bangsa
Indonesia untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sah dan
mengikat semua pihak termasuk Islam.
3.
Hasil dari keputusan yang
sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam,
sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya.
Dua bulan setelah Republik
Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945,
Rais Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa “Resolusi Jihad” yang
mewajibkan setiap orang (fardlu ‘ain) dalam radius 94 km untuk melakukan
jihâd fiy sabîlillâh melawan Belanda. Belanda saat itu tiba kembali di
Tanah Air untuk menjajah. Fatwa ini kemudian dikukuhkan sebagai Keputusan
Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret
Keputusan keagamaan ini
merupakan dukungan politik keagamaan NU yang sangat berani dan mampu
mempengaruhi semangat rakyat untuk mempertahankan bentuk baru negara Indonesia
yang diproklamasikan, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan
Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Sikap Kebangsaan Nahdlatul Ulama
Konsekuensi
dari penerimaan terhadap negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dalam
kebutuhan praktis dan strategis menumbuhkan sikap kebangsaan Nahdlatul Ulama
dari paham keagamaan yang selama ini digeluti, yakni sikap yang tercermin dari
nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Implementasi
sikap dasar kebangsaan ini dalam bidang politik-kekuasaan ditegaskan oleh
Keputusan Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta bahwa NU sebagai suatu
organisasi sosial-keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) tidak
mempunyai ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan
sosial politik yang manapun juga. NU tidak akan menggabungkan diri secara
organisatoris ke dalam organisasi sosial politik yang manapun, tetapi juga
tidak akan bersikap menentang organisasi sosial politik yang manapun juga, dan
tidak akan menjadi partai politik sendiri.
Lebih
lanjutnya NU menetapkan prinsip-prinsip dasar etika
politik bagi warganya sebagai berikut:
1. Berpolitik
bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik
bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa
dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan
untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di
dunia dan kehidupan di akherat.
3. Politik
bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis,
mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab
untuk mencapai kemaslahatan bersama. 4. Berpolitik
bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi
persatuan Indoensia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijkasanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan.
5. Berpolitik
bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama,
konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati,
serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah
bersama.
6. Berpolitik
bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsesus nasional, dan dilakukan
sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal
Jamaa.ah.
7. Berpolitik
bagi NU, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan
kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8. Perbedaan
pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam
suasana persaudaraan, tawadlu., dan saling menghargai satu sama lain, sehingga
di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
9. Berpolitik
bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam
pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan
organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya
sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi, serta
berpartisipasi dalam pembangunan.