Banyak mulut menyeracau dan mulutku termasuk
di dalamnya, cuaca dan hawa yang begitu dingin sangat menyiksa malam-malam yang
gelap. Memeluk kulit dan membekukannya, serta membuat ngilu tulang.
Kugosok-gosokkan keduatanganku agar mengurangi hawa dingin, kuangkat kaki
ke atas kursi dan kubalut dengan rok yang kupakai.Tanganku masih kebingungan di
depan layar komputer.
“bulan ramadhan kali ini tidak terasa berat,
karena tak berasa haus sedikit pun sebab jauh dari cuaca panas. Hanya saja dingin tiap malam,
tak tahan aku dibuatnya” fida membuka suara di tengah mulutnya yang
sedang mengunyah makanan sahur.Aku diam saja,
sambil lekat-lekat dan memepererat balutan selimut di kakiku,
sambil sesekali tanganku menggapai nasi hangat di depanku dan memasukkannya kemulutku,
nikmat rasanya sangat kontras dengan pipiku yang dingin membeku.Ini ramadhan terakhirku
di pesantren,tahun terakhirku.sudah kutekadkan aku akan menjalaninya hingga akhir.
“kau itu sudah diingatkan oleh keamanan ramadhan berkali-kali,
jangan sering-sering membolos ngaji pagi kau.” Fida mengganti topik pembicaraan
“iya aku tahu” sambil kusunggingkan senyum termanis yang
kupunya berharap dia tak melanjutkan topik pembicaraan yang menyudutkanku seperti ini.
Ini masalah yang sedang kuhadapi,
disamping tekadku ingin menjalani bulan ramadhan yang berkah di
pesantren untuk terakhir kalinya, tapi rasa kantuk yang didukung hawa dingin membuatku selalu tergoda untuk menarik selimut tiap selesai shalat shubuh,
membuatku absen berkali-kali pengajian pagi. Sudah berkali-kali pula
aku diingatkan panitia ramadhan, dan entah sudah berapa kepingan logam yang
kusodaqohkan untuk menebus perbuatan absenku.Sudah kucoba dengan cara mendaras al
Qur’an sambil menyiapkan setoran,
tapi ujungnya aku tetap terlelap melingkar dengan masih memakai mukena lengkap. Beruntung tak jarang
pula fida mengijinkanku absen ngaji dengan alasan membantu pekerjaan kantin nderek ndalem,
dan memang aku lebih memilih itu dari pada terkantuk-kantuk mengikuti pengajian yang
membosankan.
Mulutku bersenandung mengikuti lantunan lagu-lagu
yang kupilih dan kuputar di playlist komputer.Tanganku masih menari indah di
atas tutskey.Kadang aku terhanyut oleh lagu yang kuputar, kadang aku terhanyut oleh petikan-petikan suara keybord
yang kupencet.
“mbak yayah, punyaku mana ya?” mbak yayah yang
sedang asik dengan mainan berbentuk kotak di
tangannya hanya menjawab dengan isyarat kepala, dia tentu sudah paham apa yang
kumaksudkan. Kuambil barang elektronik kecil bermanfaat tapi juga banyak madhorot itu dari dalam lemari mbak yayah. Kulihat terdapat beberapa pesan baru
yang belum kubaca. Aku sudah berjanji siang ini akan menghubungi adikku. setelah beberapa menit aku berbicara dengan adikku,
Kembali kutitipkan barang itu kepada mbak yayah yang sudah tidak lagi sibuk dengan mainannya.
“kita harus lebih berhati-hati,
siapa tahu setelah rubiyah tertangkap kemarin sekarang giliran kita yang kena swiping kemanan pondok.”
kujawab nasihat mbak yayah dengan senyuman. Sudah menjadi rahasia umum,
bahwa tak sedikit santri yang mbeling-termasuk aku di dalamnya-
nekat membawa barang itu walaupun sudah jelas dalam peraturan pondok tak seorangpun santri diperbolehkan membawa barang itu dengan alasan apapun.Dan
telah jelas tertera pula bagi siapa saja yang
melanggar sudah tentu kena sanksi karantina.Bagi kalangan umum, pondok kami tentu dianggap katrok dan buta tekhnologi.Tapi bagi kalangan tertentu ada sisi positif adanya peraturan tersebut,
tentu saja agar tidak mengganggu proses kegiatan belajar mengajar. Bahkan,
bukan hanya pondok pesantren yang memberlakukan peraturan tersebut,
banyak dari lembaga formal lain seperti sekolah yang juga memberlakukan peraturan itu dengan alasan
yang sama.
***
“serius kau mau lebaran di sini? “ Tanya
fida dari dalam kantin sambil memasak menu-menu untuk berbuka nanti sore.
“tentu saja, ini kan tahun terakhirku. “
Tak tak tak
Suara pisauku memukul-mukul telenan yang
kugunakan untuk mengiris ketela ikut mengisi perbincangan kita.
“memangnya kau sudah matur sama ibumu?”
“hmm.. sudah, tapi ibu mengizinkan dengan sedikit keberatan”
Lalu hanya suara pisauku yang
terdengar karena fida tak melanjutkan tema obrolan kita.
Setelah beberapa kalimat tertulis
di layar komputerku, aku berhenti sejenak dan menimbang-nimbang hendak kisah apa yang
akan kutuliskan selanjutnya. Kupejamkan mata dan kunikmati lagu-lagu yang
berputar mengikuti alurnya dan meresap kesela-sela nafasku.Terbayang beberapa hari kedepan,
lebaran segera datang. Lebaran yang kujalani tanpa keluarga untuk pertama kalinya.
“mbak fay…ayo kita berangkat” ajakku pada teman dekatku seraya menggandeng tangan mbak
fay menuju musholla putra untuk mengikuti kegiatan mudarrosah bersama, salah satu di
antara sekian kegiatan yang disiapkan oleh panitia ramadhan tahun ini.
***
“mbak, dipanggil umi” seseorang membisikkan di telingaku, tampak isyarat tanya di wajahku. sedang mudarrosah begini,
di baris depan sendiri pula tiba-tiba dipanggil umi. Ada apa ya?
Kiranya penting sekali.
“ada apa?” tanyaku sambil berbisik.
“hpmu kena sita” jawab umi tak kalah lirih pula.
Perputakaan AnNur, 02082012