ISTISHHAB, ‘URF, SADD AL DZARI’AH DAN MADZHAB SHAHABI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah: Ushul Fiqh I
Dosen Pengampu: Nur Huri Musthofa, M.SI
Disusun oleh:
Asna fairuz
Munhamiroh
Zumrotin
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AN-NUR
YOGYAKARTA
2011
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Istishab
Istishhab termasuk
dalam dalil hukum Islam yang tidak disepakati penggunaannya di kalangan para
ulama’ ushul. Metode istishhab hanya digunakan setelah tidak dapat
menemukan solusi masalah hukum melalui empat dalil hukum yang disepakati,
yaitu: Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Perbedaan yang terjadi bukan dalam
mengartikan Istishhab tersebut akan tetapi memang berbeda dalam menempatkannya
sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri.
a.
Pengertian Istishhab
Secara bahasa
istishab berasal dari kata اِصْتَصْحَبَ yang
berarti “selalu menemani” atau “selalu menyertai”. Sedangkan secara istilah
terdapat rumusan yang berbeda di antara para ulama’, tapi tidak sampai pada
perbedaan prinsip.
1. Rumusan yang
paling sederhana dikemukakan oleh Syekh Muhammad Ridho Mudzaffar dari kalangan
Syi’ah:
اِبْقاًءُ ماً كاًنَ
Mengucapkan apa
yang pernah ada
2. Al Syaukani
dalam Irsyad Al Fuhul mendefinisikan:
اِنَّ ماَ ثَبَتَ فِيِ الزَّماَنِ الْقاَضِ فاَلأَصْلُ بَقاَؤُهُ فيِ
الزَّماَنِ الْمُسْتَقْبَلِ
Apa yang pernah
berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa
yang akan datang.
3. Ibn Al Qoyyim
Al Jauziyah mengemukakan pendapat: mengukuhkan menetapkan apa yang pernah
ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
4. Ibn Al Subki
dalam kitab Jam’u Al Jawami’ II memberikan definisi: berlakunya sesuatu pada
waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak
ada yang patut untuk mengubahnya.
Dari berbagai
pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa istishhab adalah
mengukuhkan sesuatu yang dulu pernah ada pada masa kini, dan jika terdapat
sesuatu yang dulu tidak ada maka keadaan tiadanya itu juga dianggap tetap
berlaku pada masa kini dan mendatang selama tidak ada hal yang dapat
mengubahnya.
Keadaan yang
dulu pernah ada itu (masa lalu) ada dua macam: (1) nafi (نفي ), yaitu dalam keadaan
tidak pernah ada suatu hukum atau kosong; (2) tsubut ( ثبوت ), yaitu dalam keadaan
telah (pernah) ada suatu hukum.
Contoh istishhab
dalam bentuk tsubut :
Bila tadi pagi
seseorang telah wudhu untuk shalat shubuh; maka keadaan telah wudhunya itu
masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat dhuha
atau berarti ia tidak perlu wudhu kembali, selama tidak ada bukti dan
tanda-tanda bahwa wudhunya yang pada waktu shubuh itu telah batal.
Contoh istishhab
dalam bentuk nafi: di masa lalu tidak pernah ada hukum tentang
wajibnya puasa di bulan Syawal, karena memang tidak ada dalil syara’ yang
mewajibkannya. Keadaaan tidak adanya hukum wajib itu tetap berlaku sampai masa
kini dan mendatang karena memang dalil syara’ yang akan mengubahnya
untuk itu tidak akan ada lagi dengan telah meninggalnya Nabi saw.[1]
b.
Bentuk-bentuk Istishhab
1.
Istishhab Al Bara’ah Al Ashliyyah (kebebasan dasar), yang oleh Ibnul Qayyim diberi istilah: “Bara’ah
Al ‘Adam Al Ashliyyah”. Seperti bebas dari beban kewajiban-kewajiban (taklif)
syar’i, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya taklif. Anak
kecil terbebas dari taklif, sampai ia mencapai usia balligh.
2.
Istishhab yang
diakui eksistensinya oleh syara’ dan akal. Yaitu, ketentuan hukumnya ditetapkan
dengan hukum syara’ dan secara akal ketentuan tersebut tetap berlaku, hingga
ada indikator yang menghapusnya. Maka, dengan menggunakan hukum istishhab juga
tetap berlaku hingga ada suatu dalil yang mengubahnya. Contoh: kewajiban
pembeli untuk membayar harga barang sebagai konsekuensi adanya transaksi jual
beli, sampai ada indikasi bahwa ia telah membayarnya.
3.
Istishhab hukum,
yaitu apabila dalam kasus itu ada ketentuan hukumnya, baik mubah atau haram.
Ketentuan hukum itu terus berlaku hingga ada dalil yang mengharamkan dalam hal
perkara mubah, dan hingga ada dalil yang memperbolehkan dalam hal perkara
haram. Sesuai kaidah ushul fiqih: “bahwa asal segala sesuatu itu mubah” kecuali
dalam urusan harta dan kehormatan. Hukum mubah ini ditetapkan berdasar firman
Allah SWT:
هُوَ الَّذِى خَلَقَ لَكُمْ ماَ فِي الأَرْضِ جَمِيْعاً
Artinya: Dia
yang menciptakan untuk kamu semua apa yang ada di bumi. (QS. Al Baqarah: 29)
4.
Istishhab sifat,
seperti sifat hidup bagi orang hilang. Sifat ini dianggap masih tetap melekat
pada orang yang hilang sampai ada indikator atas kematiannya. Contoh lain,
sifat suci bagi air. Sifat itu tetap melekat hingga ada tanda-tanda atas
kenajisannya, baik berubah warnanya atau baunya.[2]
c.
Kehujjahan Istishhab
Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para
mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama’ ushul
berkata sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa.
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama
tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil
yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai
ketetapan untuk mereka.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syari’at antara
lain sebagai berikut, “asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan
semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya” sesuai dengan
kaidah:
الأًصْلُ فِي الأَشْياَءِ الأِباَحَةُ
Artinya: “Asal
segala sesuatu itu adalah kebolehan”
Pendapat yang
dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena
hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab tiada
lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.[3]
B.
‘Urf
a.
Pengertian ‘Urf
Arti ‘urf secara
harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah
dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Di kalangan masyarakat, ‘urf sering disebut sebagai adat.
Sebagai
contohnya, adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa
mengucapkan sighat. Atau adanya pengertian tentang kemuthlakan lafal al
walad atas anak laki-laki bukan perempuan.
Dengan
demikian, ‘urf itu mencakup sikap
saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di antara mereka
baik keumumannya atau kekhususannya.[4]
b.
Macam-macam ‘Urf
Penggolongan
macam-macam ‘urf dapat dilihat dari berbagai segi:
1.
Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan:
a.)
‘Urf Qauly, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata atau ucapan.
Contoh: kata “lahmun” berarti “daging”, baik daging sapi, ikan, atau
hewan lainnya. Namun adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang
Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu jika ada
seseorang besumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging”, tetapi
ternyata dia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab,
orang tersebut tidak melanggar sumpah.
b.)
‘Urf Fi’ly, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya: kebiasaan saling mengambil
rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, itu tidak
dianggap mencuri.
2.
Dari segi ruang lingkup penggunaannya, dapat dibagi menjadi:
a.)
‘Urf umum, yaitu
kebiasaan yang telah umu berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia,
tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contoh: di mana-mana bila memasuki
pemandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya membayar
seharga tarif masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan berapa banyak air
yang dipakainya dan berapa lama ia menggunaka pemandian tersebut.
b.)
‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan
sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di
semua tempat dan waktu tertentu. Contoh: orang Sunda menggunakan kata “paman”
hanya untuk adik dari ayah, dan tidak digunakan untuk kakak dari ayah;
sedangkan orang Jawa menggunakan “paman” itu untuk adik dan untuk kakak dari
ayah.
3.
Dari segi penilaian baik dan buruk, dapat dibagi menjadi:
a.)
Shahih, yaitu
adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak
bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Contoh: memberi
hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu.
b.)
Fasid, yaitu adat yang
berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan
dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contoh: berjudi untuk
merayakan suatu peristiwa.[5]
c.
Kehujjahan ‘Urf
‘Urf menurut penyelidikan bukan
merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya ‘Urf, ditujukan untuk
memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran
beberapa nash. Dengan ‘Urf dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan
dibatasi yang mutlak. Dan karena ‘Urf terkadang qiyas ditinggalkan ketika
terdapat pertentangan diantara keduanya.
C.
Sadd Ad Dzari’ah
a.
Pengertian Dzari’ah
Pengertian Dzari’ah
dari segi bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama’ mengkhususkan
pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang
dilarang dan mengandung kemadharatan. Tapi Ibnul Qayyim menentang pendapat
tersebut, menurutnya Dzari’ah tidak hanya menyangkut sesuatu yang
dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah
itu di bagi menjadi dua, yaitu saad Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath
Adz-dzari’ah (yang dianjurkan)
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2009)
cet: 5, hal:364-365
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus.
1994) hal: 453-454
[3] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia.1998)
hal: 126-127
[4] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh... hal: 128
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2... hal: 389-392