Sugeng Rawuh

Gubuk Cerita

Sabtu, 25 Agustus 2012

Ushul Fiqh


ISTISHHAB, ‘URF, SADD AL DZARI’AH DAN MADZHAB SHAHABI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah: Ushul Fiqh I
Dosen Pengampu: Nur Huri Musthofa, M.SI
                  


 






                                                         


Disusun oleh:
Asna fairuz
Munhamiroh
Zumrotin


PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AN-NUR
YOGYAKARTA
2011




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Istishab
Istishhab termasuk dalam dalil hukum Islam yang tidak disepakati penggunaannya di kalangan para ulama’ ushul. Metode istishhab hanya digunakan setelah tidak dapat menemukan solusi masalah hukum melalui empat dalil hukum yang disepakati, yaitu: Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Perbedaan yang terjadi bukan dalam mengartikan Istishhab tersebut akan tetapi memang berbeda dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri.
a.       Pengertian Istishhab
Secara bahasa istishab berasal dari kata اِصْتَصْحَبَ yang berarti “selalu menemani” atau “selalu menyertai”. Sedangkan secara istilah terdapat rumusan yang berbeda di antara para ulama’, tapi tidak sampai pada perbedaan prinsip.
1.      Rumusan yang paling sederhana dikemukakan oleh Syekh Muhammad Ridho Mudzaffar dari kalangan Syi’ah:
اِبْقاًءُ ماً كاًنَ
Mengucapkan apa yang pernah ada
2.      Al Syaukani dalam Irsyad Al Fuhul mendefinisikan:
اِنَّ ماَ ثَبَتَ فِيِ الزَّماَنِ الْقاَضِ فاَلأَصْلُ بَقاَؤُهُ فيِ الزَّماَنِ الْمُسْتَقْبَلِ
Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.
3.      Ibn Al Qoyyim Al Jauziyah mengemukakan pendapat: mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
4.      Ibn Al Subki dalam kitab Jam’u Al Jawami’ II  memberikan definisi: berlakunya sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang patut untuk mengubahnya.

Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa istishhab adalah mengukuhkan sesuatu yang dulu pernah ada pada masa kini, dan jika terdapat sesuatu yang dulu tidak ada maka keadaan tiadanya itu juga dianggap tetap berlaku pada masa kini dan mendatang selama tidak ada hal yang dapat mengubahnya.
Keadaan yang dulu pernah ada itu (masa lalu) ada dua macam: (1) nafi (نفي ), yaitu dalam keadaan tidak pernah ada suatu hukum atau kosong; (2) tsubut ( ثبوت ), yaitu dalam keadaan telah (pernah) ada suatu hukum.
Contoh istishhab dalam bentuk tsubut :
Bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat shubuh; maka keadaan telah wudhunya itu masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat dhuha atau berarti ia tidak perlu wudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya yang pada waktu shubuh itu telah batal.
Contoh istishhab dalam bentuk nafi: di masa lalu tidak pernah ada hukum tentang wajibnya puasa di bulan Syawal, karena memang tidak ada dalil syara’ yang mewajibkannya. Keadaaan tidak adanya hukum wajib itu tetap berlaku sampai masa kini dan mendatang karena memang dalil syara’ yang akan mengubahnya untuk itu tidak akan ada lagi dengan telah meninggalnya Nabi saw.[1]

b.      Bentuk-bentuk Istishhab
1.      Istishhab Al Bara’ah Al Ashliyyah (kebebasan dasar), yang oleh Ibnul Qayyim diberi istilah: “Bara’ah Al ‘Adam Al Ashliyyah”. Seperti bebas dari beban kewajiban-kewajiban (taklif) syar’i, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya taklif. Anak kecil terbebas dari taklif, sampai ia mencapai usia balligh.
2.      Istishhab yang diakui eksistensinya oleh syara’ dan akal. Yaitu, ketentuan hukumnya ditetapkan dengan hukum syara’ dan secara akal ketentuan tersebut tetap berlaku, hingga ada indikator yang menghapusnya. Maka, dengan menggunakan hukum istishhab juga tetap berlaku hingga ada suatu dalil yang mengubahnya. Contoh: kewajiban pembeli untuk membayar harga barang sebagai konsekuensi adanya transaksi jual beli, sampai ada indikasi bahwa ia telah membayarnya.
3.      Istishhab hukum, yaitu apabila dalam kasus itu ada ketentuan hukumnya, baik mubah atau haram. Ketentuan hukum itu terus berlaku hingga ada dalil yang mengharamkan dalam hal perkara mubah, dan hingga ada dalil yang memperbolehkan dalam hal perkara haram. Sesuai kaidah ushul fiqih: “bahwa asal segala sesuatu itu mubah” kecuali dalam urusan harta dan kehormatan. Hukum mubah ini ditetapkan berdasar firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِى خَلَقَ لَكُمْ ماَ فِي الأَرْضِ جَمِيْعاً
Artinya: Dia yang menciptakan untuk kamu semua apa yang ada di bumi. (QS. Al Baqarah: 29)
4.      Istishhab sifat, seperti sifat hidup bagi orang hilang. Sifat ini dianggap masih tetap melekat pada orang yang hilang sampai ada indikator atas kematiannya. Contoh lain, sifat suci bagi air. Sifat itu tetap melekat hingga ada tanda-tanda atas kenajisannya, baik berubah warnanya atau baunya.[2]
c.       Kehujjahan Istishhab
Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama’ ushul berkata sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syari’at antara lain sebagai berikut, “asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya” sesuai dengan kaidah:
الأًصْلُ فِي الأَشْياَءِ الأِباَحَةُ
Artinya: “Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan”
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.[3]
B.     ‘Urf
a.       Pengertian ‘Urf
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat, ‘urf  sering disebut sebagai adat.
Sebagai contohnya, adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan sighat. Atau adanya pengertian tentang kemuthlakan lafal al walad atas anak laki-laki bukan perempuan.
Dengan demikian, ‘urf  itu mencakup sikap saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di antara mereka baik keumumannya atau kekhususannya.[4]
b.      Macam-macam ‘Urf
Penggolongan macam-macam ‘urf dapat dilihat dari berbagai segi:
1.      Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan:
a.)    ‘Urf  Qauly, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata atau ucapan. Contoh: kata “lahmun” berarti “daging”, baik daging sapi, ikan, atau hewan lainnya. Namun adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu jika ada seseorang besumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging”, tetapi ternyata dia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggar sumpah.
b.)    ‘Urf Fi’ly, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya: kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, itu tidak dianggap mencuri.
2.      Dari segi ruang lingkup penggunaannya, dapat dibagi menjadi:
a.)    ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umu berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contoh: di mana-mana bila memasuki pemandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tarif masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunaka pemandian tersebut.
b.)    ‘Urf  khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan waktu tertentu. Contoh: orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari ayah, dan tidak digunakan untuk kakak dari ayah; sedangkan orang Jawa menggunakan “paman” itu untuk adik dan untuk kakak dari ayah.
3.      Dari segi penilaian baik dan buruk, dapat dibagi menjadi:
a.)    Shahih, yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Contoh: memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu.
b.)    Fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contoh: berjudi untuk merayakan suatu peristiwa.[5]
c.       Kehujjahan ‘Urf
‘Urf  menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya ‘Urf, ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘Urf dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Dan karena ‘Urf  terkadang qiyas ditinggalkan ketika terdapat pertentangan diantara keduanya.
C.    Sadd Ad Dzari’ah
a.       Pengertian Dzari’ah
Pengertian Dzari’ah dari segi bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama’ mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Tapi Ibnul Qayyim menentang pendapat tersebut, menurutnya Dzari’ah tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu di bagi menjadi dua, yaitu saad Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan)






[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2009) cet: 5, hal:364-365
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994) hal: 453-454
[3] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia.1998) hal: 126-127
[4] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh... hal: 128
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2... hal: 389-392